Cerpen – Menguak

Karya : Ambar Arum Prameswari

“ Sore ini akan menjadi yang terakhir bagiku ada di sini “, kata Ayu.
“ Ahh, jangan,mimpimu masih panjang “,jawab Liya.
“ Bukan mimpiku, tapi mimpimu “ Elak Ayu.
“ Bruuukkk”,tenda untuk walimahan Pak Harjo ambruk tertiup angin yang sedari tadi tengah menantang warga desa. Kejadian itu menyudahi pertengkaran Ayu dan Liya di bawah pohon randu yang kian memanas.

Dari jauh tampak bibi mereka yang sedang mengamati pertengkaran keduanya. Seakan enggan untuk ikut campur dalam urusan remaja. Sambil sesekali menutupkain kembennyayang sedari tadi tersingkap oleh angin yang nakal. Mungkin itu karena kemolekan tubuhnya yang tiada bandingan di desa. Kulit kuning langsat yang khas, tubh ramping nan aduhai seringkali menghipnotis kaum adam yang melihatnya. Mata indah bundar nan bersih, idung mancung, dan merah alami bibirnya yang penuh menampilkan kesempurnaan tuhan dalam penciptaannya. Tapi ada hal yang paling indah yang jarang orang desa miliki, rambut tebal lurus yang kilau hitamnya bak mutiara yangtelah membuat pak bupati memilih menceraikan istrinya dan menjadi ‘kacung’ bi Sri. Apapun yang dikatakannya pasti dikabulkan pak bupati. Enak nian nampak hidupnya.

” Ayu, cepat ganti baju! Jangan melamun sendirian di bawah pohon, pamali. “, panggil bi Sri dari balik pintu rumah.

Dua belas tahun sudah Ayu tinggal berdua bersama bi Sri, adik dari ayahnya, di gubuk kecil reot yang telah berubah menjadi rumah gedongan pemberian pak bupati sejakkemaian kedua orang tua Ayu saat iamasih berusia lima tahun. Orang tuanya meninggal dibakar masa karena dituduh sebagai dukun santet yang telah menewaskan Pak Samiri, juragan beras di desa. Penduduk desa dengan biadapnya memukuli ayah dan ibunya menggunakan batang pohon randu, dan menyiramkan minyak tanah ke sekujur tubuh mereka yang penuh luka karena sebelumnya tergores-gores paku yang tertancap pada batang pohon randu itu, lalu tanpa ampun, tanpa memberi kesempatan mereka untuk berbicara dan tanpa menghiraukan tangisan seorang anak kecil yang akan segera menjadi yatim piatu, mereka membakar keduanya di hadapan Ayu. Jerit ibunya dan raungan ayahnya semakin memekakan telinga yang hingga kini terus menggema di kepalanya, keduanya hangus terbakar tanpa sempat berpamitan dengan anak semata wayangnya. Hari itu selalu terngiang dibenk Ayu, meski dua belas tahun telah berlalu. Bagaimanapun juga ia percaya, bahwa kedua orang tuannya tidak bersalah. Ibunyhanyalah seorang pedagang sayur dan ayahnya seorang penjaga keamanan desa yang jujur, itu saja.

“ Bi, siapa yang datang kali ini ?” ,tanya Ayu.
“ Nang Jaka, anak Pak Supardi. Katanya dia pengen kenalansama kamu .”,jawab bi Sri.
“ Palingan juga nggak bakal cocok sama Ayu, bi. Ayu nggak suka lelaki genit macam kang Jaka. “, tegas Ayu.

Sudah seminggu ini ayu ‘banjir pesenan’. Sudah menjadi tradisi di desa kalau anak usia tujuh belas tahun itu baiknya sudah dinikahkan. Tapi Ayu tidak mau buru-buru, apalagi dia tahu setelah menikah penantin wanita tidak boleh keluar rumah kalau bukan dengan suaminya. Seperti dipenjara pikirnya. Tapi Ayu tidak ambil pusing, ia selalu menolak semua pelamarnya terutama yang berasal dari desa.

“ Ayu, apa kamu puas dengan hanya menolak mereka? Apakarena dendammu pada mereka, warga desa ? bukan salah mereka tidak bisa melindungi orang tuamukan, itu SALAHMU!”, cerca Liya.
“ Apa maksudmu, lantas kenapa kamu selalu mengusikku, apa maumu sebenarnya?”,tanya Ayu.

(HENING)

“ Ayu, kenapa diam? Ada apa di balik pohon randu itu? jangan terlalu lama menatapnya nanti kamu kesambet. Itu nang Jaka sudah datang, ayo disambut dulu. “ tegur bi Sri sambil setengah bergurau.

Bi sri memang telah lama tinggal bersama Ayu, namun ia tidak mengerti bahwa Ayu masih menyimpan duka yang mendalam terhadap kematian kedua orang tuanya. Urusannya dengan nang Jaka pun usai, menolaknya adalah hal yang sudah barang tentu ia lakukan.

Seminggu kemudian, bi Sri diundang pak bupati untuk main kerumahnya seperti yang biasa pak bupati lakukan setiap bulannya, nampakya kali ini Ayu juga ikut diundang. Kereta kuda milik pak bupati sudah stand by sedari pagi di teras rumah lenkap dengan sekeranjang pisang dan apel di kursi penumpang, mungkin sengaja kalau wanitanya kelaparan di jalan. Namun, siapapun tahu kalau saat ini Sang bupati sudah tidak punya apa-apa.
Jarak anatara rumah bibi dan pak bupati sekitar dua puluh kilometer yang menempuh waktu hampir dua jam perjalanan. Tepat jam tujuh malam Ayu dan bibinya berangkat. Sepanjang perjalanan Ayu ditemani kerlip pelita rumah- rumah warga yang tampak begitu indah, desir angin nan merdu dengan perpaduan nyanyian burung hantu di pohon randu sepanjang jalan dan bulan purnama yang benderangpun ikut menghantar keduanya dengan lambaian sinarnya yang menerangi jalanan. Tepat satu tikungan jalan sebelum sampai kerumah pak bupatibibi berpesan kepada Ayu untuk bersikap sopan dan jangan melamun saat di sana. Ayu mengangguk dan berusaha untuk melaksanakannya dengan baik.

“ Ayu, kalau nanti kita sudah sampai di sana, kamu bersikaplah yang sopan dan tidak membiarkan dirimu melamun sendirian ya. “, Ayu mengangguk.
Kereta berhenti di depan teras rumah yang begitu indah, sangat bertolak belakang dengan rumah penduduk desa di kanan dan kirinya yang serupa gubuk reot.
“ Silahkan masuk , Nyonya.”, sambut seorang emban yang ramah.
“ Nyonya, Anda sudah ditunggu tuan bupati di kamar sebelah sana.”, sambil menunjuk sebuah kamar yang tampak megah pintunya.

Bi Sri hanya mengangguk dan tersenyum pada emban tesebut. Kini bi Sri tampak gugup, yang membuat wajahnya merah merona, tampak kecantkan alami yang terpancar kian menguat darinya di malam ini dengan kain jarik cokelat tua dan kebaya ungu serta gelungan rambut indahnya, ia tampak sempurna. Meski bukan kali pertamanya, namun seperti seorang gadis, ia selalu gugupkala malam- malam ini tiba. Bau harum semerbaknya telah memenuhi ruangan, senyumnya ia tebar kepada orang seisi rumah, bak seorang ratu ia berlenggok.

“ KREEEKK”

Pintu itu terbuka, tampak pak bupati melangkah keluar sambil mengembangkan senyum pada bibi, wanitanya telah datang, mungkin itu pikirnya. Kini tampak bahwa kisah beauty and the beast itu benar adanya. Bi Sri yang jelita disandingkan dengan pak bupati dengan jenggot dan kumisnya yang tinggi sebelah, tua, keriput, dan perutnya yang buncit. Sungguh pemandangan ini bagai bumi dan langit.
Tanpa aba- aba, pak bupati langsung menangkap pinggang bi Sri dengan erat, hendak membawanya masuk ke dalam kamar. Matanya yang keriput kini bersinar-sinar, nafas tuanya sedikit tersengal tapi itu bukan masalah baginya karena yang terpenting Sri, wanita pujaannya telah masuk ke dalam pelukannya.
“ Mual rasanya, sudah tua masih saja doyan daun muda.”, gumam Ayu.

Malam itu menjadi malam yang panjang bagi Ayu, mengingat kini ia sendirian.dalam hening, ingatannya akan peristiwa dua belas tahun silam kini muncul lagi kepermukaan, ingin sekali ia menguak kebenaran, siapakah yang tega memfitnah kedua orang tuanya. Pernah sekali ia betanya, siapakan yang memfitnahkedua orang tuanya itu kepada bi Sri, namun bi Sri tidak tahu pasti. Hanya saja ada seorang jejaka yang mengaku dialah pelakunya dan telah dibereskan oleh pak bupati, begitu penuturannya. Galau, mungkin itulah keadaannya saat ini. Tanpa sadar ia melangkahkan kakinya menuju ke salah satu lorong di rumah itu. lorong ini tampak berbeda. Sepi dan sedikit gelap. Tampak setitik cahaya di ujung lorong itu, sebuah lilin agaknya. Langkah demi langkah ia lalui untuk mencapainya, kemudian ia melihat dengan jelas lukisan wajahnya di antara bi Sri dan kedua orang tuanya yang tepat tergantung di atas meja dengan tiga lilin menyala yang meneranginya. Alangkah terkejutnya ia ketika tampak seorang lelaki tua duduk di depan lukisan tersebut sambil memegang sebatang kayu pohon randu.

“ Pak bupati, lelaki itu adalah pak bupati!”, Ayu terkejut.
Kini ia menoleh ke arah Ayu dan tanpa di sangka ia melesatkan kayu randu itu yang ujungnya merobek tepat di jantung Ayu.

“JLEEEBB”

“ HOOOSH……..HOOOSH……….HOOOSH……”, nafas Ayu tersengal-sengal ketika terbangun dari mimpi setelah sadar bahwa ia tertidur di kursi tamu depan kamar pak bupati ia terus memegangi dadanya, khawatir kalau yang tadi itu nyata.
“Ayu!”
“ Liya? Kenapa bisa kamu di sini?”, tanya Ayu.
“ Kamu tampak pucat cah ayu? Inging aku tunjukan sesuatu? Pergilah ke ruang kerja pak bupati, di sana ibumusudah menanti.”, jawab Liya.
“ Ibuku sudah mati! Apa yang kamubicarakan?” ,sahut Ayu heran.

Tanpa permisi Liya pergi meninggalkan Ayu dalam lamunannya sendirian. Karena penasaran akan maksud Liya, Ayu akhirnya mengikuti sarannya dan pergi ke ruang kerja pak bupati. Seperti kucing yang takut ketahuan mencuri ikan, ia mengendap-endap menuju ke sana. Jantungnya berdebar kuat ketika telah sampai di depan ruang kerja tersebut. Bagaimanapun juga ruangan itu terlarang bagi orang luar. Tapi apa boleh buat, ia terpaksa melakukannya. Dengan hati-hati ia memutar gagang pintu dan masuk. Kiniia berada di dalam ruang kerja pak bupati. Dengan seksama ia melayangkan pandangan ke setiap sudut ruangan dan di temukannya secarik kertas yang tampak usang di kursi pak tua itu.

Lamat –lamat ayu membaca isi kertas itu sampai pada kalimat “ dalam keheningan malam ini, aku telah menang, batu sandungan, dia Sang penjaga kejujuran telah disingkirkan, kini rembulan indah telah dalam genggaman, karena kepolosan dan keluguannya aku memperdaya bidadari kayangan.Sri.
Sampah telah hangus karena kayu bakar yang aku nyalakan. Dia yang menghalangiku, Sanjaya Bagaskara, Liya Dian Pramudya. Semoga rembulan, Sri, merestui kepergian kakaktercintanya…….”
Kaki Ayu seketika lemas, air mata kini membasahi pipinya, ia lunglai sebelum selesai membaca surat itu, ia tak pernah menyangka pak bupati yang selama ini berjasa dalam hidup bibi dan dirinyalah yang telah telah merencanakan pembunuhan ayah dan ibunya. Ini semua terjadi karena Sanjaya, ayah Ayu sekaligus kakak Sri, tidak merestui jika Sri berhubungan dengan pak bupati, begitu pikirnya. Dalam hening ia terus menangis, tak terbayangkan olehnya jika bibi Sri mengetahui ini.
“Cah ayu!”, lembut lirih suara Liya kembali muncul, wujud remajanya kini seketika berubah menjadi sosok wanita dewasa cantik nan anggun dengan cincin emas putih bermata bintang. Liya Dian Pramudya. Ibunda Ayu.
“Ibu….. kau hidup kembali? Benarkah ini?”, dengan suara serak parau ia bertanya –tanya.
“ Iya, anakku, ini ibu, ibu di sini, di dalam ingatan dan sanubarimu….”, jawab lembut ibundanya. Kini sosoknya menghilang. Rupanya sosok Liya yang selama ini muncul di kehidupannya hanyalah khayalan semata.
Sergap hawa dingin yang entah dari mana datangnya membuat nefasnya tercekal, semakin lama semakin sulitia rasakan detak jantungnya, hampir mati rasanya. Sekuat tenaga ia berlari keluar, menuju ke ruang tamu rumah itu. Di sana ia menemukan pak bupati telah tergeletak dengan batang pohon randu tertancap di dadanya.
“Aaaa…”, jerit Ayu.
“GREEBBB”, Ayu di sergap dari belakang dengan kuat. Ayu meronta dan berteriak meminta pertolongan, tapi tidak ada satupun yang datang menolongnya, dan kini ia merasa nyawanya tengah terancam. Dalam kelelahan yang teramat sangat ia menyerah,lalu orang itu berbisik “ Rupanya kau cah ayu, akulah Sri yang selama inikau cari”.

Dalam keheningan malam ini, aku telah menang, batu sandungan, dia Sang penjaga kejujuran telah disingkirkan, kini rembulan indah telah dalam genggaman, karena kepolosan dan keluguannya aku memperdaya bidadari kayangan.Sri.

Sampah telah hangus karena kayu bakar yang aku nyalakan. Dia yang menghalangiku, Sanjaya Bagaskara, Liya Dian Pramudya. Semoga rembulan, Sri, merestui kepergian kakaktercintanya.

Tentu aku merestuinya, aku perdaya diriku sendiri, lalu mengapa? Aku yang melenyapkannya.

Aku bermimpi menjadi putri kayangan, bergelimang emas, permata, tapi kang mas sanjaya selalu menentang.

Dahulu akupun ingin menjadi biduan, aku antik lalu mengapa aku ditentang. Teruntuk mas bupati, maukah kau membuat mimpiku menjadi kenyataan?