Cerpen – Rahayu Si Cantik

Karya : Nabila Aulia P.W.

(saya tidak suka diri saya, jadi jangan panggil saya, panggil saya aku)

***

Aku di tepi pantai sekarang. Sendirian. Bukan, bukan aku yang sendirian, bukankah seharusnya tak ada istilah sendirian? Toh aku sedang asik mengobrol bersama debur ombak, sesekali bernyanyi bersama kicau burung, bahkan kini aku tengah berada dalam dekap angin yang jail meniup lembut anak rambutku membuatnya sedikit terangkat lantas jatuh tak beraturan. Hei, aku tak menyedihkan karena aku adalah si cantik yang terkenal handal dalam segala hal, aku adalah si cantik yang namanya disebut-sebut sebagai bahan obrolan tetangga. Ah, tetangga, kalau kuingat tetanggaku yang hawa_mereka jadi sirik bilang kalau aku pakai guna-guna makanya jadi cantik. Tak apa, toh aku cantik dan memang cantik, nanti juga ku balas, kubuat rumah mereka kosong melompong ditinggal pergi suami dan anak lelaki yang sibuk mengagumiku.

Diantara tetanggaku, ada yang namanya Rahayu, orangnya gempal berisi, matanya terlihat pucat seperti mata orang putus asa yang sebentar lagi mau mati, hidungnya sama sekali tak seperti hidung karena sebenarnya lebih mirip colokan listrik, mukanya tidak mulus karena gosong dan penuh jerawat batu persisi jalanan aspal berkerikil, rambutnya entah kenapa berwarna hitam legam seperti arang, cantik, tapi penuh ketombe.

Aku tak suka rahayu karena mukanya seperti orang yang minta dikasihani, matanya juaga kerap menyimpan iri. Ia lewat di depanku, liat tubuh rampingku lantas buang muka, ia berbicara, kubalas suara merdu lantas diam, ia mengerling, ku balas tatap manis, ia justru melotot seperti hendak memakanku. Yang ku tahu, begitulah Rahayu, entah apa yang ia tahu tentang ‘aku’.

***

Rahayu sungguh gadis yang malang, ia tak cantik dan malangnya hidup di keluarga yang juga tak baik. Aku tahu banyak tentang Rahayu, termasuk soal warna kesukaanya, makanan favoritnya, apa yang ia sukai, termasuk juga soal ukuran sepatu dan kebiasaanya sebelum tidur. Aku tahu semua itu karena kami bersaudara_yang ini karena ayahnya juga adalah ayahku. Enam tahun lalu, saat usiaku Sembilan tahun, untuk pertama kalinya aku menginjakkan kaki di rumah Rahayu. Rumah itu kotor, bercat hijau dengan lumut-lumut yang sebagian berwarna coklat, keramiknya putih dan beberapa terlihat retak. Dulu, Rahayu tidak segempal sekarang, ia hanyalah gadis kucel, kurus, dan berkepang dua. Aku ingat saat ia menyapaku dengan wajah yang entah bermaksud apa, matanya sembap, hidungnya merah, tatapanya kosong, dan ia terus bergumam. Belakangan aku tahu, bahwa Rahayu menggumamkan ibuku yang seorang pelacur. Tak apa, Rahayu berhak marah dan kami tetap adalah saudara.

***

Semua adalah tentang fisik. Ya, hidup perempuan ditentukan dari fisik mereka. Aku adalah si cantik, anak dari ibuku yang juga cantik. Badanku langsing persis ibuku, mataku bening persisi ibuku, bibirku ranum persis ibuku. Hanya satu yang tidak seperti ibu, itu adalah dua lesung pipi yang persis ayahku, dan sialnya juga persis Rahayu. Rahayu dan aku adalah tetangga karena kamar kami bersebelahan, kami bukan saudara karena ibu kami berbeda. Ibuku adalah wanita yang dipuja dan ayah adalah pemuja ibu. Ibuku tak akan menikah, tapi ayah punya janji lantas ibu menikah. Janji itu adalah untuk meninggalkan ibu Rahayu dan hidup bersama ibuku dan aku yang juga cantik. Ibuku yang cantik bernasib baik, ibu punya rumah, punya suami, dan punya uang tanpa harus bekerja. Ibu Rahayu yang gempal dan jelek harus rela kehilangan, lantas memutuskan mati, meninggalkan Rahayu sendirian di rumahnya yang sekarang adalah rumah orang. Tentu saja ini salah ibu rahayu siapa suruh ia tak cantik.

***

Aku membenci ibu karena menikah dengan ayah.
“Kau menangis Rahayu?”
“Ibuku mati, lantas kenapa aku tak boleh menangis?”
“Kenapa?”
“Ibumu membunuhnya kau tanya kenapa!”
“Ibuku bukan pembunuh!” tanganku panas, dan bercaknya terlihat jelas di pipi Rahayu, aku tak tahu mengapa, tapi emosiku cepat sekali naik.
“Maaf Ra-“ suaraku tercekat, kakiku lemas saat melihat Rahayu yang berlalu pergi. Aku keterlaluan, aku jahat seperti ibuku.

***

Semua orang menyayangiku, ini semua karena aku cantik dan menarik. Tubuhku semamapai, rambutku panjang, hitam, dan lurus, mataku hitam cemerlang, hidungku tinggi dan kecil. Aku pandai berkomunikasi, suaraku merdu, lantas mengapaa harus ragu-ragu? Kalau aku berdiri tepat di samping Rahayu, semua orang akan teringat pada kisah tentang si buruk rupa dan si cantik_bukankah sudah jelas? Aku tak pernah mengatakan apapun pada Rahayu, tapi ia justru mengurung diri, tak berani keluar. Mungkin ia takut kutampar lagi karena bibirnya yang tak sopan, atau ia malu karena terlalu jelek. Yang ku tahu Rahayu suka sekali mengarang. Apa yang ia pikirkan ditulis, apa yang ia inginkan ditulis, ironisnya tulisan-tulisan itu lantas di buang, alasanya ia takut jika di baca lantas ditertawakan. Pengecut dan konyol, itulah Rahayu.

***

Rahayu bilang ia buruk, tapi sunnguh, ia tak begitu. Matanya sayu menenangkan, bibirnya kecil dan manis, bulu matanya lentik dan ia berlesung pipi. Rahayu lebih suka diam, mengurung dirinya di kamar. Belakangan, aku tahu bahwa ia suka menulis dan mengarang. Secarik kertas yang tertinggal di ruang tamu pernah kubaca.
Biarlah aku tak menarik
Biarlah tak lagi dilirik
Lantas biarlah aku jadi si cantik
Entah apa maksudnya, tapi aku tahu ia bersedih. Kalau boleh, ingin kutarik ia agar tak lagi mengurung diri dan menangis. Aku sungguh suka Rahayu, senyumnya, tulisanya, tatapan matanya, dan hatinya yang diam dan baik.

***

Aku duduk diam, ingin melamun, tapi Rahayu lebih dulu melakukannya. Aku menatap Rahayu yang matanya terpejam, bibirnya bergerak-gerak yang membuatku ingin muntah. Aku yakin, ia pasti sudah menghabiskan satu buku untuk omong kosong tentang lamunannya.
“Apa yang kau lakukan, Rahayu?” aku maju, mengerjapkan mata lentikku, lantas menegaskan aku cantik.
“ Kenapa?”
“Aku hanya bertanya.”
“Bisakah tak kau usik aku? Kalau kau ingin menertawakanku, pergilah.” Aku menatap Rahayu, lantas berlalu. Menyebalkan sekali kalau ia iri lantas mengusirku.

***

Aku merenung sendiri, duduk di emperan, malas berdiri. Di sebrang sana, Rahayu juga tengah sendiri, matanya menerawang jauh, diam-diam tersenyum. Aku tak pernah melihat Rahayu begitu, biasanya Rahayu selalu diam atau menunduk dalam-dalam_tak membiarkan siapapun melihat wajahnya. Aku berjalan mendekat, barangkali ia mau bercerita, atau boleh jadi ia akan begini seterusnya. Terlihat bahagia.
“Apa yang kau lakukan Rahayu?” aku menatapnya lantas tersenyum seramah mungkin, aku tak mau mengubah suasana hati Rahayu.
“Kenapa?” Rahayu menatapku, mengubah datar ekspresinya. Selalu begitu, ia selalu menolak apapun yang ku lakukan padanya.
“Aku hanya bertanya.”
“Bisakah tak kau usik aku? Kalau kau ingin menertawakanku, pergilah.” aku diam, menatap Rahayu yang kini menunduk. Aku tak mau mengubah suasana hati Rahayu, jadi aku memutuskan pergi. Sendiri.

***

Aku tak suka pada senyum aneh Rahayu yang semakin menjadi. Aku benci melihat jerawatnya terangkat saat tersenyum. Menjijikan. Rahayu tengah membaca buku usang, lantas ia merobek lembarannya, melipatnya, memasukkanya ke dalam amplop cantik_berwarna merah muda dengan hiasan hati kecil-kecil. Aku menunggu Rahayu selesai, aku juga menunggu Rahayu tertawa-tawa, aku juga menunggu Rahayu menciumi amplop itu seperti orang gila. Bukankah dengan aku yang menunggu lantas aku pantas membaca surat itu? Membacanya selagi Rahayu pergi, membacanya lantas menghentikan senyum Rahayu. Bukankah senyum yang merusak mata harus dihentikan? Aku membuka lipatan kertas di dalam amplop, lantas membacanya lamat-lamat. Rahayu aneh sekali, ia berbahasa manis, ia banyak memuji, ia malu-malu, ia jelas ingin terlihat baik. dia memuji seorang pria yang jelas ku kenali. Namanya Imran, ia anak pemilik ruko terbesar di kota. Orangnya putih, tampan, dan tinggi, senyumnya manis dan ia selalu tersenyum kearahku. Kalau hanya Imran, aku tahu bagaimana menghentikan senyum Rahayu.

***

Aku ingin tahu mengapa ia tersenyum, mengapa Rahayu belakangan selalu bahagia lantas aku ingin memuji siapapun yang membuatnya begitu. Tepat sore hari, aku melihat lagi, aku melihat lagi Rahayu yang tersenyum. Kali ini ia tersenyum sambil menciumi amplop bermotif hati. Aku diam-diam tertawa, aku menyukai Rahayu yang begitu. Aku akan membuatnya tetap begitu. Rahayu pergi beberapa saat kemuadian, meninggalkan aku dan amplop merah muda. Aku maju, pelan-pelan meraih amplop, aku sangat ingin membacanya, aku benar-benar ingin tahu siapa yang membuat Rahayu tersenyum. Rahayu manis sekali, ia menulis banyak hal yang manis, ia banyak memuji, dan aku tahu ini jelas surat cinta. Imran, begitu surat ini berakhir. Aku menghela nafas gusar, aku tak mau mengecewakan Rahayu, tapi aku jelas tak punya alasan untuk pergi darinya. Dia bernama Imran, lelaki yang kerap memberiku sekotak coklat, lelaki yang selalu tersenyum ramah kearahku. Lelaki yang mencintaiku dan juga kucintai. Dia Imran. Kekasihku.

***

“Kau mencintainya, Rahayu?” aku menatap Rahayu yang tersedu, air matanya jatuh, menetes di lantai. Aku benar-benar menjalankanya, aku mendekati Imran, membuatnya jatuh cinta padaku. Itu mudah, karena aku jelas cantik. Aku tak mau melihatnya menatapku sinis, jadi aku bertanya, pura-pura baik.
“Kau bisa memilikinya.”
“Aku membencimu!” aku memegang lengan Rahayu, membuatnya menengadah.
“Kau-“ kalimatku terputus, Rahayu membalas perbuatanku yang lalu, ia menampar pipiku.
“Dia jelas tidak suka aku, aku buruk rupa! Dia jelas menyukaimu. Seandainya aku adalah kau….” Rahayu menunduk, ia menangis.

***

Aku tahu ini akan terjadi, Rahayu pulang, ia terisak.
“Ada apa?”
“Imran kekasihmu?”
“Ada apa?” aku mengulan pertanyaanku, aku memilih diam.
“Dia bilang dia kekasihmu.”
“Kau mencintainya Rahayu?”
aku menatapnya, aku menatap hatiku, dan aku siap melepaskanya.
“Kau bisa memilikinya.” sungguh, aku Manahan air mataku, menatap Rahayu yang menangis.
“Aku membencimu!” apapun yang kulakukan, Rahayu membenciku. Dia memilih begitu, maka aku memilih akan selalu menyayanginya. Dulu, dia adalah kakakku, orang yang mengobati luka di kaki, orang yang selalu membantuku meski tak pernah tersenyum kearahku, orang yang memelukku saat ayah hendak memukulku, orang yang memasak saat ibu kabur dan ayah pergi bunuh diri. Dulu dia kakakku, dan sekarang dia tetap kakakku. Aku memegang lenganya, berharap dapat menyerap sedih itu.
“Kau-“ aku tecekat, Rahayu menampar pipiku, tapi aku lebih tercekat saat matanya seolah mengatakan ia menyasal. Dia kakakaku.
“Dia jelas tidak suka aku, aku buru rupa! Dia jelas menyukaimu. Seandainya aku adalah kau….” Rahayu menunduk, ia menagis.
“Kau adalah aku, bahkan jika bisa. Kau adalah aku. Aku menyayangimu kak.” aku menangis, memeluk kakakku.

***

Aku ingin membencinya. Aku sungguh ingin membencinya. Aku ingin membenci Rahayu, aku ingin membenci si cantik. Tapi ia memelukku, membuat semua luka juga mendekapku. Sendirian. Aku tak pernah sendirian. Bukankah seharusnya tak ada istilah sendirian? Selalu ada luka yang membuatku membenci, dan selalu ada dia yang tak pernah menyerah. Aku Rahayu dan mimpiku adalah menjadi si cantik.

***

(seandainya aku adalah kau….)