Oleh: Amelia Putri Revani
“Hiduplah Indonesia Raya…. “
“Kepada Sang Merah Putih, hormaatttt grak! Tegaakkk grak!”
Semua kegiatan yang sempat tertunda lagu Indonesia Raya kembali menyibukkan warga SMA Nusantara. Mengumandangkan lagu Indonesia Raya setiap pagi adalah salah satu tradisi di sekolahku. Aku sangat menyukainya. Rasa nasionalisme yang tinggi. Meskipun tidak sedikit yang bermain-main, mengobrol saat menyanyi, bahkan yang tidak hormat pun ada. Temanku termasuk di dalamnya. Sudah berkali-kali aku mengomel tentang itu, berkali-kali juga mereka mengabaikanku. Sekarang iya, besok lupa. Sekarang maaf, besok diulang lagi, maaf lagi, ulang lagi, maaf lagi, itu terjadi terus menerus. Seperti pagi ini, saat menyanyi, Ra dan Feby justru berselfie selfie di pojok kelas.
“Ra! Feby! Kalian harusnya ikut hormat. Pahlawan kita udah berjuang seluruh jiwa raga buat bendera itu. Kalian harusnya menghormati. Kalo tidak ada bendera itu, takkan ada presiden Indonesia. Bahkan mungkin sekarang kita lagi diserbu tentara Jepang kalo gak ada mereka.”
“Itu udah garis takdirnya kali Din. Jangan marah-marah mulu lah. Cantiknya ilang loh.” Feby justru bercanda cengengesan. Aku yang mulai panas, memilih meninggalkan mereka menuju bangkuku.
Kriiinnggg…. Kriiinnggg…. Kriiinnggg…
“Selamat pagi anak-anak.” Seorang guru berwajah cantik dengan beberapa buku di tangannya masuk ke ruang kelas XI SOSIAL 8. Usianya sekitar 50an, tubuhnya gempal, rambutnya keriting, dan kulitnya putih. Ia adalah Bu Rini, guru Sejarahku. Aku sangat suka Sejarah. Berbanding terbalik dengan kedua temanku yang sangat benci pelajaran mengenang masalalu. Menurutku, sejarah itu menyenangkan. Setiap ceritanya seperti puzzle puzzle masa lalu yang menjelaskan kehidupan masa kini. Puzzle yang tak ada habisnya, sangat sulit dipecahkan dan penuh keajaiban. Aku ingin menggenapkan puzzle tersebut menjadi lukisan yang indah.
Namun, ada yang berbeda hari ini. Bu Rini tidak datang sendiri. Di belakangnya ada seorang lelaki seumuranku. Kulitnya putih bersih, rambutnya rapi, badannya tegap, ia mengenakan seragam putih abu-abu sepertiku namun dengan bet berbeda. Ia jelas bukan siswa sini.
“Kita kedatangan kawan baru. Nak, silahkan perkenalkan dirimu.” Ucap guru penyabar itu.
“Hai. Namaku Raden Muhammad Fajar. Panggil aja Raden. Aku dari Jogja. Salam kenal. Semoga kalian mau berteman denganku.” Ucap lelaki itu tersenyum.
Deg. Aku terkejut. Bukan karena apa, tapi aku seperti mengenalnya. Aku tidak asing dengan bentuk mukanya, senyumnya, dan suaranya. Tapi, aku tak pernah punya kenalan bernama Raden. Aku bahkan belum pernah bertemu dengan anak ini sebelumnya.
“Hai. Bolehkan aku duduk disini?” suara seseorang menarikku kembali dari dunia penuh imajinasi yang kubuat sendiri. Ternyata lelaki tadi.
“Boleh.” Aku menjawab singkat. Kesadaranku belum seutuhnya kembali.
“Raden.” Ia mengulurkan tangannya, tersenyum ke arahku.
“Andiana Hanathan. Adin.” Kuterima uluran tangannya, balas tersenyum.
Bu Rini menuliskan tugas di papan tulis, lalu keluar berkata ada urusan penting. Raden yang duduk di sebelahku fokus mengerjakan tugas. Sesekali membuka catatan, lalu tersenyum sendiri. Kurasa, Raden suka sejarah.
“Apa kau suka sejarah?”aku memutuskan bertanya, membuka pembicaraan.
“Sangat.” Aku lega mendengarnya. Raden selesai dengan cepat. Ia berkenalan dengan teman-teman disekitarnya. Raden orang yang menyenangkan, sangat mudah bergaul. Buktinya, sekarang ia sudah punya teman dekat, Alfaro dan Samuel. Manusia-manusia pemuja ruang BK. Kata mereka, ruang BK sangat menyenangkan, ada AC, banyak makanan, sepi. Entahlah, mungkin mereka terkena gangguan jiwa.
Setelah berkenalan singkat itu, kami saling bercerita sepanjang pelajaran. Mulai dari Ra dan Feby yang menceritakan tentang sekolah, Al dan Sam yang curhat tentang banyaknya tugas, guru cantik, guru killer, peraturan sekolah yang setebal kamus Inggris-Indo, dan masih banyak lagi. Raden bercerita tentang daerah asalnya, Jogja. Aku hanya menyimak, sesekali menimbrung. Kami semakin dekat. Saat istirahat, kami berenam pergi ke kantin bersama-sama, makan di meja yang sama, dan entah itu suatu kebetulan atau bukan kita sering satu kelompok saat ada tugas. Mereka sangat menynangkan. Tapi aku tidak tahu, sejak saat itu,kehidupanku berubah drastis.
Malam telah tiba. Setelah selesai belajar, aku segera menuju ranjangku. Membaca buku tentang Sejarah Indonesia sambil meminum segelas susu. Setelah habis, ku matikan lampu kamar lalu tidur pulas.
Aku mengerjapkan mataku. Tunggu, dimana aku? Bukankah semalam aku tidur di kasur empuk, kenapa sekarang aku bangun di kasur lantai? Rumah siapa ini? Terbuat dari anyaman bambu, tanpa lampu, tak ada tv, hp, kulkas, pun jam dinding.
“Kau sudah bangun Marni?” seorang wanita paruh baya datang membawa segelas air putih. Rambutnya beruban, kulitnya berkeriput, jalannya sedikit membungkuk. Siapa Marni? Apa dia berbicara padaku? Tapi jika bukan aku, siapa lagi? Hanya ada aku dan dia disini.
“Maaf bu, siapa Marni?” tanyaku hati-hati yang ia jawab dengan tawa renyah.
“Tentu saja kau. Siapa lagi? Mimpi apa kau ini, Nak. Apa kau amnesia sampai lupa namamu sendiri?” ia meletakkan segelas air putih di depan tempatku duduk.
“Tapi nama saya Adin bu, bukan Marni.” Jawabku naïf. Wanita paruh baya itu tertawa lagi.
“Adin? Anak siapa itu? Apa kau tidak suka dengan nama Marni? Itu pemberian kakek kakek kakekmu, Nak. Nama tercantik di desa ini.” Jawabnya. Baiklah. Ku akui, semenjak datangnya Raden di kelasku, hal-hal ganjil sering terjadi padaku. Aku tak tau. Aku bingung. Aku memutuskan untuk mengikuti setiap alur cerita ini.
Tiba-tiba, seseorang datang. Dia lelaki yang kurasa seumuran dengan ibu-ibu di depanku ini. Di belakangnya muncul 2 pemuda yang sedang memapah seseorang. Raden! Itu Raden! Wajahnya kotor, keadaannya buruk, dan lengan kirinya dibalut kain putih. Aku tau itu luka. Darahnya terlihat menutupi permukaan kain. Aku sungguh terkejut, bahkan sampai menutup mulutku menahan teriakan.
“Bujang anakku.. Apa yang terjadi Pak?” wanita paruh baya tadi langsung histeris melihat Raden—atau Bujang yang lemas tak berdaya. Aku membeku di tempatku.
“Kita diserang. Baru saja, markas Bujang dikepung tentara Belanda. Dua teman Bujang tewas, tiga lainnya terluka seperti Bujang. Kita tidak bisa terus diam. Kita harus segera melawan.” Lelaki tua tadi berkata tegas. Walau rambutnya beruban, ia masih terlihat kuat dan sangat berwibawa. Tunggu, lelaki itu membicarakan apa tadi? Markas Bujang diserang Belanda? Melawan? Melawan siapa? Kita dijajah lagi? Saat otakku penuh dengan pertanyaan yang tak tau harus ku kemanakan, wanita paruh baya tadi memegang kedua bahuku. Tatapannya menjadi redup. Matanya mengisyaratkan kekhawatiran.
“Nak, perang besar akan terjadi. Ayah dan abangmu akan pergi bertempur. Doakan mereka. Kau, berhati-hatilah. Sembuhkan orang yang butuh pertolonganmu. Doaku menyertaimu.” Setitik air bening lolos dari matanya, suaranya bergetar. Aku merasakan besarnya rasa sayang ibu ini untukku. Aku mulai tau alur cerita ini.
Kriingg.. Kringg.. Kringg..
Ini kamarku. Aku telah kembali ke duniaku. Semua orang didepanku menghilang. Segelas air, kasur lantai, dan rumah anyaman bambu tadi lenyap tak bersisa. Aku meraih jam bekerku. Pukul 04:00. Rupanya hanya mimpi. Tapi kenapa mimpi itu sangat nyata? Dan kenapa Raden? Pertanyaan itu selalu bersamaku. Aku ingin bertanya. Namun, kepada siapa?
Jam demi jam berlalu. Hari demi hari kulewati. Semua berjalan seperti biasa. Tentu saja pertanyaan tanpa jawaban itu menjadi pengecualian. Semakin hari, semakin banyak hal-hal ganjil yang terjadi. Mimpi yang entah baik atau buruk itu selalu menemani malamku. Ceritanya seakan berlanjut. Dan selalu ada Raden disana. Perang menjadi tema utama di mimpi yang seperti putaran film masalalu itu. Film dengan aku dan Raden tokoh utamanya. Tapi aku tak tau apa peranku. Setiap ceritanya kuperhatikan baik-baik. Semakin lama semakin menegangkan. Semua itu seakan benar-benar terjadi, nyata, realistis.
Setiap malam aku memikirkan jawaban atas pertanyaanku sendiri. Aku berusaha memecahkan misteri. Setiap kejadiannya, ku ingat betul di kepala. Namun, malam tadi tak ada lanjutan cerita. Setelah berhari-hari dihantui Bujang dan Marni, malam tadi aku tak bermimpi itu lagi. Bukan berarti aku mimpi indah, menjadi putri kerajaan yang dijodohkan dengan pangeran ganteng lalu hidup bahagia selamanya. Tetap hal ganjil yang aku dapat. Seorang kakek kakek datang di mimpiku. Rambutnya putih, berjenggot panjang, ia berjalan mengenakan tongkat.bajunya putih dan jalannya membungkuk. Ia mendekatiku saat duduk di sebuah bangku taman, di depan air mancur yang bergemericik indah. Aku sangat mengingatnya.
“Ikuti alurnya. Biarkan semua mengalir seperti air. Air itu akan membawamu ke ujung, ke sebuah hilir yang luas. Sesuatu yang kau cari berada di sana.”
Di malam kedua, ia mendatangiku lagi.
“Suatu saat kau akan hidup kembali. Menjadi seseorang yang jauh berbeda dengan masalalumu. Kau takkan ingat apapun kecuali ingatan itu yang mendatangimu. Saat kau tau kehidupanmu dulu, amatilah, pelajarilah, ambil setiap hikmahnya, jadikanlah ia sebagai motivasi hidupmu.”
Aku tak begitu paham saat itu. Saat hendak bertanya, semuanya telah lenyap berganti dengan tembok kamarku. Aku menjalani hariku seperti biasa. Bertemu teman-temanku, memarahi Ra, Feby, Al, dan Sam saat tidak mau menyanyi Indonesia Raya. Lalu, menyanyi nyanyi bersama di rooftop sekolah.
“Kalian percaya reinkarnasi?” kataku memecah keheningan rooftop sekolah. Semua mata menatapku heran. Beberapa detik, lalu mereka tertawa. Kecuali Raden.
“Kenapa ketawa? Kan aku cuama tanya.”
“Kenapa tiba-tiba tanya gitu?” kali ini Raden membuka suara.
“Sebenarnya…” aku menceritakan semua mimpi yang menghantuiku selama ini. Detail, rinci, tak kurang suatu apapun. Mereka justru tertawa terbahak bahak.
“Mana mungkin orang mati hidup lagi, Adin.. Adin..” Al tertawa sambil menepuk-nepuk Sam disampingnya.
“Udah. Katanya mau ngerjain tugas, ayo ke rumahku sekarng.” Raden menengahi. Kami berenam segera menuju rumah Raden hendak mengerjakan tugas Kimia yang tak ada ujungnya. Kami bergegas menuju perpustakan rumah Raden. Saat semua sibuk mengerjakan PR, aku melihat-lihat buku yang teertata rapi di rak. Aku mengambil sebuah buku bersampul coklat yang berdebu di barisan Sejarah Indonesia. Kuusap lembut sampul buku tua itu. Tiba-tiba, keluar cahaya saat aku membukanya. Ra, Feby, Raden, Al, dan Sam berlari ke arahku.
“Apa itu Din?” tanya Ra kebingungan.
“Aku menemukannya di rak Sejarah Indonesia. Saat kubuka, buku ini tiba-tiba bercahaya.” Aku takut, bercampur bingung, tapi penasaran. Dengan jantung yang berdetak lebih cepat dari biasanya, aku membuka halaman selanjutnya. Kilau cahaya menutup pandanganku. Aku tak bisa melihat apa-apa. Tiga detik, pandanganku mulai membaik. Belum sepenuhnya pandanganku kembali, terdengar teriakan dari belakangku.
“Awass!!” aku tak tau jika dibelakangku sedang ada simulasi perang. Bukan. Ini jelas bukan hanya simulasi, ini perang sungguhan. Aku segera berlari ke sebuah rumah diamana teman-temanku berada. Namun, belum sempat aku sampai, ada sebuah pistol tertuju ke arahku. Memang jauh. Tapi, saat bunyi ‘dorr’ terdengar, peluru itu melesat cepat membelah udara. Saat itu juga, seluruh tubuhku seakan terkunci. Otakku menyuruhku segera berlari, namun ragaku tetap berdiri. Aku hanya bisa memejamkan mataku. Menikmati ritme detak jantung yang tak tentu. Mungkin ini akhir hidupku. Mataku terpejam semakin erat. Aku pasrah dengan ajalku. Tapi, aku tak merasakan apa-apa. Apa aku sudah mati? Kubuka mataku perlahan.
Brukkk… Seorang lelaki di depanku jatuh terduduk sambil memegangi lengannya.
“Lari!”
“Raden.” Aku berkata lirih. Penglihatanku semakin buram. Setetes air mata meluncur di pipiku.
“Pergi!” suaranya meninggi. Aku segera menuruti perintahnya. Ini semua salahku. Raden tertembak karena aku. Sesampainya di rumah yang kutuju, aku segera masuk lalu mengunci pintunya. Di dalamnya ada Ra, Feby, Al, Sam, dan.. Raden! Jika itu Raden, orang tadi siapa? Aku mengintip dari jendela. Orang tadi berdiri kembali dengan lengan berdarah. Ia berlari ke teras sebuah rumah. Dan disana ada seorang wanita berbaju putih, disekelilingnya ada kotak P3K dan perban-perban. Saat gadis itu mendongak, aku sangat terkejut. Orang itu mirip sekali denganku. Ia mengobati “Raden” yang terluka. Setelah selesai, “Raden” berlari kembali menuju medan perang. Aku memeprhatikan perang besar itu. Aku baru sadar, tempat ini mirip sekali dengan mimpiku. Tempat aku menjadi Marni dan bertemu dengan Bujang. Aku mengatakan itu pada teman-temanku. Mereka mulai ikut mengintip di sebelahku.
Mereka terkejut saat melihat 2 orang yang mirip denganku dan Raden. Saat ini, kami diselimuti banyak pertanyaan. Namun, pada siapa kami akan bertanya? Kami bahkan tak tau ada dimana. Beberapa menit lalu, kami hanya sedang mengerjakan tugas, menemukan buku tua, membukanya, lalu boom! Kami tersesat disini, seakan kami baru saja melewati dimensi ruang dan waktu. Kami berenam terus menatap ke depan.
Tembakan pistol terdengar dimana-mana. Pekikkan “Merdeka! Allahu Akbar!” memenuhi langit langit. Teriakan bahasa Jepang yang tak kumengerti terus terdengar. Tangisan histeris dari ibu-ibu dan anak-anak membuat hatiku teriris. Air mata meluncur membasahi pipiku. Aku terdiam, ingin membantu namun aku tak bisa apa-apa. Teriakan kesakitan terdengar jelas. Darah-darah mewarnai jalan. Raga yang tak bernyawa tergeletak di mana-mana. Seorang lelaki yang kurasa itu Bujang, berlari kea rah sebuah hotel besar. Ia melewati puluhan penjajah yang terus menembakinya. Namun tembakan itu seakan tak berarti untuknya. Peluru itu justru terpental saat menghantam tubuhnya. Bujang terus berlari memasuki pekarangan hotel. Ia memanjat tiang yang diujungnya terdapat bendera Belanda. Dengan keberaniannya, Bujang menyobek kain biru bendera itu. Jadilah Bendera Merah Putih berkibar di Hotel Yamato. Bujang pun turun. Saat ia turun dari gerbang, sebuah benda miliknya tersangkut di ujung gerbang. Aku tau itu sebuah jimat yang melindunginya dari ribuan peluru tadi. Aku bingung harus bagaimana. Itu bukan pertanda baik. Hipotesisku benar, sebuah peluru datang tepat mengenai pelipis Bujang, merobohkan Bujang. Aku berteriak histeris, begitu juga dengan teman-temanku. Bujang terjatuh, dan saat itu Marni berlari memeluk Bujang sambil menangis histeris terus meneriakkan nama Bujang. Marni tak peduli dengan pistol-pistol yang mengancamnya. Seorang pemuda menghampiri Marni, tersenyum licik seperti menggoda Marni. Marni justru meneriakinya. Lelaki itu mundur beberapa langkah lalu ‘dorr!’ Marni terjatuh di samping jasad Bujang. Darah menyelimuti tubuh mereka. Air mata tak kunjung berhenti keluar dari mataku. Aku paham kedekatan dua adik berkakak ini. Aku tau ini potongan puzzle terakhir. Ini hilir yang dimaksud kakek tua itu. Ini adalah episode terakhir dari mimpiku.
Saat aku dan teman-temanku menangis, seorang wanita paruh baya menghampiri kami bersama seorang kakek tua yang datang di mimpiku. Wanita itu adalah ibu Bujang dan Marni. Matanya sembap, aku sangat iba, mengetahui besarnya kasih sayang ibu ini kepada Marni dan Bujang anaknya.
“Kalian telah sampai di hilir itu, Nak.” Ia menatapku dan Raden. Kalian? Apa Raden juga sama denganku? Dihantui mimpi perang itu?
“Mengapa Bujang dan Marni mirip dengan kalian? Karena itu memang kalian di masa perang. Sekarang, kalian di lahirkan kembali menjadi remaja yang tangguh.
“Maksud kakek reinkarnasi?” tanyaku.
“Ya seperti itulah.” Aku terkejut. Ternyata, reinkarnasi itu benar-benar nyata.
***
“Kepada Sang Merah Putih. Hormaattt grakk!” suara lantang Raden membelah langit sore. Bendera Merah Putih nampak sangat gagah berkibar di tiang tertinggi di Pulau Jawa, di atas awan. Aku menangis terharu. Bangga terhadap Indonesiaku.
“Tegaakkkk grakk!”
Aku, Ra, Feby, Raden, Al, dan Sam duduk di depan api unggung sambil menatap awan yang ditimpa cahaya jingga matahari terbenam, bersama Sang Saka Merah Putih yang terus berkibar. Kami menikmati malam indah dengan penuh bintang. Membicarakan banyak hal, lalu tertawa bersama. Sejak kembali dari buku itu, teman-temanku mulai memiliki rasa nasionalisme.
Kami bernyanyi di bawah sinar rembulan. Raden menghampiriku yang sedang duduk sendiri menatap ribuan bintang di langit.
“Perjalanan yang menyenangkan bukan?” Raden duduk di sebelahku.
“Ya. Aku menemukan banyak hal baru. Aku tak pernah menyangka aku pernah hidup di zaman Belanda.” Aku mengatakan itu sambil mengusap kedua tanganku lalu meniupnya. Disini sangat dingin. Aku memeluk tubuhku sendiri.
“Aku tak pernah menyangka aku pernah punya adik secerewet ini. Harusnya, kau tidak usah mendekatiku dan memarahi lelaki itu Marni. Kau naïf sekali. Kalau aku ada disana, mungkin aku akan menendangmu karena kegilaanmu itu.” Raden tertawa, aku juga.
“Tapi untungnya, kita dilahirkan kembali dari rahim yang berbeda. Iya kan?” Raden melepas jaketnya, memakaikannya ke badanku. Lalu ia membawa kepalaku menyandar di bahunya. Aku bingung kenapa aku hanya diam. Aku bahkan lupa baru saja Raden berkata apa. Tubuhku menerima perlakuan Raden. Jujur aku nyaman berada di bahunya. Hawa dingin hilang sekejap digantikan rasa hangat yang disalurkan Raden dari perlakuannya. Kami hanya saling diam, tak menemukan topik yang bisa dibahas. Aku terus menatap bintang gemintang yang tak kunjung meredup. Ia terus bersinar di langit sana.
“hoaammm” aku menguap.
“Sudah larut malam. Ayo kembali ke tenda. Yang lain sudah duluan.” Raden seakan tau bahwa aku sudah sangat mengantuk. Kami segera beristirahat, mengumpulkan tenaga untuk menuruni Gunung Slamet besok pagi.